SEJARAH DAN SISTEM PEREKONOMIAN
INDONESIA
Sistem
ekonomi Indonesia
sudah ada dari zaman penjajahan hingga sekarang. Dari waktu kewaktu sistem
ekonomi selalu berubah. Jadi sistem ekonomi Indonesia sekarang berbeda dengan
sistem ekonomi Indonesia masa Orde Lama. Pemerintah selalu mengganti sistem
ekonomi untuk membuat perekonomian negara semakin membaik. Hal ini memang perlu
dilakukan untuk mengikuti perkembangan zaman yang semakin maju. Perekonomian
yang baik akan mensejahterakan rakyatnya. Adapun system ekonomi yang pernah
diterapkan atau digunakan oleh pemerintah Indonesia diataranya adalah :
A.
Ekonomi
Indonesia pada masa orde lama (1950-1966)
1.
Demokrasi
Liberal
Kondisi Ekonomi Indonesia pada masa liberal masih sangat
buruk. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
- Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Bangsa Indonesia menanggung beban keuangan dan ekonomi, seperti yang telah ditetapkan dalam hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
- Politik Keuangan Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda.
- Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
- Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan sangat meningkat.
- Defisit yang harus ditanggung pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp. 5,1 miliar.
- Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil perkebunan.
- Angka pertumbuhan jumlah penduduk besar.
Ø Usaha untuk memperbaiki
perekonomian.
- Gunting Syarifuddin . Kebijakan gunting syarifuddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini dilakukan pada tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong semua uang memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 keatas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan keuangan ini dilakukan pada masa pemerintahan RIS oleh menteri keuangan pada waktu itu Syarifuddin Prawiranegara.
- Program Benteng (benteng group) . Gagasan program benteng dituangkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam program kabinet Natsir (September-April 1951). Pada saat itu Sumitro menjabat sebagai menteri perdagangan. Selam 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program Benteng ini. Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak dapat dicapai dengan baik. Kegagalan program ini disebabkan para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan perusahaan non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal. Kegagalan Program Benteng menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Walaupun dilanda krisis moneter, namun menteri keuangan pada masa kabinet sukiman, Jusuf Wibisono masih memberikan bantuan kredit, khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah. Dengan memberikan bantuan tersebut diharapkan masih terdapat pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
- Nasionalisasi de javasche bank. Pada tanggal 19 Juni 1951, kabinet Sukiman membentuk nasionalisasi De Javasche Bank. Kemudian berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah RI N. 122 dan 123, tanggal 12 Juli 1951, pemerintah memberhentikan Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank dan mengangkat Syarifuddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank yang baru. Pada tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank sentral dan Bank Sirkulasi.
- Sistem Ekonomi Ali-Baba. Diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo, menteri perekonomian dalam kabinet Ali Sastroamijoyo I. Dalam sistem ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusah non pribumi. Dalam kebijakan Ali Baba, pengusaha non pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Selanjutnya, pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swata nasional dan memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik, sebab pengusah pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan lat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
- Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek). Pada masa pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan sebagai berikut:
- Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan Finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Karena pemerintah Belanda tidak mau
menandatangani persetujuan ini, maka pemerintah RI mengambil langkah sepihak.
Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran
Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Hal ini dimaksudkan untuk melepaskan diri
dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sebagai tindak lanjut daripembubaran
uni tersebut, pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani
undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya, banyak pengusaha-pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil
alih perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.
- Rencana Pembangunan Lima tahun (RPLT). Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaab RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar. RPLT ini tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
- Adanya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
- Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakannya masing-masing.
- Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik karena menemukan kesulitan dalam menemukan prioritas. Selain itu ketegangan politik yang tak bisa diredakan juga mengakibatkkan pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk mengatasi pemberontakan ini diperlukan biaya yang sangat besar sehingga emningkatkan defisit. Sementara itu ketegangan politik antara Indonesia dengan Belanda menyangkut Irian Barat juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata.
2.
Demokrasi
Terpimpin (1959-1965)
Strukur Ekonomi Indonesia pada waktu itu menjurus kepada
sistem etatisme, artinya segala-galanya diatur dan dipegang oleh pemerintah.
Kegiatan-kegiatan ekonomi banyak diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah,
sedangkan prinsip-prinsip ekonomi banyak yang diabaikan. Akibatnya, defisit dari
tahun ke tahun meningkat 40 kali lipat. Dari Rp. 60,5 miliar pada tahun 1960
menjadi Rp. 2.514 miliar pada tahun 1965, sedangkan penerimaan negara pada
tahun 1960 sebanyak Rp. 53,6 miliar, hanya meningkat 17 kali lipat menjadi Rp.
923,4 miliar . Mulai bulan Januari – Agustus 1966, pengeluaran negara menjadi
Rp. 11 miliar, sedangkan penerimaan negara hanya Rp. 3,5 miliar. Defisit yang
semakin meningkat ditutup dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang.
Akibatnya menambah berat angka inflasi.Dalam rangka membendung inflasi dan
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, maka pada tanggal 25
Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya tentang penurunan nilai uang
(devaluasi) sebagai berikut.
1. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500
menjadi Rp. 50.
2. Uang kertas pecahan bernilai Rp.
1000 menjadi Rp. 100.
3. Pembekuan semua simpanan di bank
yang melebihi Rp. 25.000
Usaha Pemerintah ini tidak mampu mengatasi kemerosotan
ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Pada
tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi ekonomi secara menyeluruh,
yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon). Dekon dinyatakan sebagai dasar ekonomi
Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum Revolusi Indonesia. Tujuan
dibentuknya Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional,
demkratis dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, Dekon
mengakibatkan stagnasi dalam perekonomian Indonesia. Kesulitan-kesulitan
ekonomi semakin mencolok. Pada tahun 1961-9162 harga barang-barang pada umumnya
naik 400%. Politik Konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat semakin
memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
Pada tanggal 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden No.
27 tahun 1965, diambillah langkah devaluasi dengan menjadikan Uang senilai Rp.
1000 menjadi Rp. 1. Sehingga uang rupiah baru semestinya bernilai 1000 kali
lipat uang lama. Akan tetapi didalam Masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai
10 kali lipat lebih tinggi uang rupiah baru. Akibatnya, tindakan moneter
pemerintah menekan inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Pada masa Demokrasi terpimpin ini banyak proyek-proyek
mercusuar yang dilaksanakan oleh pemerintah. Akibatnya pemerintah harus
mengadakan peneluaran-pengeluaran yang sangat besar, sehingga harga-harga
kebutuhan pokok makin melambung tinggi. Tingkat harga paling tinggi terjadi
pada tahun 1965, yaitu sebesar 200%-300% dari tahun sebelumnya, seiring dengan
ekspor yang semakin lesu dan impor yang dibatasi karena lemahnya devisa.
Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, Presiden
Soekarno merasa perlu untuk mempersatukan semua bank negara kedalam satu bank
sentral. Untuk itu dikeluarkan penpres No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank
Tunggal Milk Negara. Tugas bank tersebut sebagai bank sirkulasi, bank sentral
dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan itu maka dilakukan peleburan bank-bank
negara Seperti Bank koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank
Tabungan negara, Bank Negara Indonesia kedalam Bank Indonesia. Selanjutnya
dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan
pekerjaan dan tugas masing-masing.
B. Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
1. Indonesia Menganut Ekonomi Pancasila
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki
pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde
Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde
Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh
ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan
Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih
dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik
serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut
terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit
keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk
ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Pada permulaan Orde Baru, program pemerintah berorientasi
pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan
tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan poko
rakyat. Tindakan pemerintah tersebut dilakukan karena adanya kenaikan harga
pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650%
setahun. Hal itu menjadi penyebab dari kurang lancarnya program pembangunan
yang telah direncanakan oleh pemerintah.
Arah dan kebijakan Ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Orde Baru
diarahkan pada pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan orde baru
bertumpu pada program yang dikenal dengan sebuah program yang dikenal
dengan Trilogi Pembangunan, yaitu sebagai berikut :
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Pertumbuhan eoknomi yang cukup tinggi.
- Stabilitas nasional yabg sehat dan dinamis.
Pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30
tahun) dilakukan orde baru secara periodik 5 tahunan yang disebut Pelita
(Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
- Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974). Tujuan dari Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar –dasar pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang, papan, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menekankan kepada pembangunan bidang pertanian.
- Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979). Sasaran utama Pelita II yaituersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
- Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984). Pelita III menekankan pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada asas pemerataan, yaitu :
· Pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak (pangan, sandang dan papan);
·
Pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
·
Pemerataan
pembagian pendapatan;
·
Pemerataan
kesempatan kerja;
·
Pemerataan
kesempatan berusaha;
·
Pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalm pembangunan;
·
Pemerataan
penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
·
Pemerataan
memperoleh keadilan.
- Pelita IV (1 April 1984 – 13 Maret 1989). Pada titik ini pemerintah lebih menitikberatkan kepada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
- Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994). Pada Pelita ini pemerintah menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
- Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999). Pada Pelita VI Pemerintah masih menitikberatkan pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
C.
Ekonomi
Indonesia Pada Masa Transisi
1. Indonesia menganut
sistem ekonomi pancasila (demokrasi ekonomi)
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand
terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing
mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke
Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.
Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Sekitar bulan September 1997, nilai tukar
rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk
mencegah agar keadaan tidak tambah memburuk, pemerintah Orde Baru mengambil
beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39
triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang
sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan transisi memiliki karakteristik sebagai berikut:
·
Kegoncangan
terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp. 2.500
menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak
stabil.
·
Krisis
rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi yang kemudian
memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
· Pada
awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya,
sehingga kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi
karena KKN semakin menjadi, banyak kerusuhan.
D.
Ekonomi
Indonesia Pada Masa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan
Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri jufga sudah mulai stabil.
- Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesai, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
- Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
- Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
E.
Ekonomi
Indonesia Pada Masa Presiden Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah
yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
- Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
- Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan- kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
F. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden
Susilo Bambang Yuudhoyono
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat
kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan kontroversial
pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung
Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang
ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah
satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November
2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor
utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan
pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor,
terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan
jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi
seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri
kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara
penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari
35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran
kredit perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka
menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada
turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri
masih kurang kondusif.
G.
Sistem Ekomoni pada Pemerintahan
Joko Widodo (sekarang)
Pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
Suroto menjelaskan mengenai kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Dengan begitu, ia berharap presiden
terpilih Joko Widodo (Jokowi) bisa melihat dan mengembalikan sistem
ekonomi Indonesia sesuai dengan fondasi konstitusi. Yaitu yang menitikberatkan
pada demokrasi ekonomi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurutnya, sistem ekonomi neoliberal yang
diterapkan selama satu dasawarsa ini gagal untuk menciptakan keadilan dan
kemakmuran.
Di samping itu, kata dia, sistem ekonomi
pasar yang berorientasi pada pertumbuhan selama ini juga sebetulnya telah gagal
menciptakan kesejahteraan rakyat. sehingga tidak layak diteruskan. "Sistem
tersebut juga sebetulnya inkonstitusional dan hanya berikan keuntungan bagi
segelintir orangIa mencatat, pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir
ternyata hanya menyisakan ketimpangan ekonomi yang begitu tajam. Dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 5,6 selama satu dasawarsa menciptakan
kesenjangan sosial-ekonomi dengan Gini Rasio 0,42 atau terendah setelah
Indonesia merdeka.
Fundamental ekonomi Indonesia dinilainya
makin rapuh. Sehingga pada akhir pemerintahan SBY basis ekonomi yang
berorientasi pada broad-based
economy yang memprioritaskan pada komoditas ekspor ternyata tidak
mampu memberikan surplus ekonomi. "Kondisi
yang terjadi justru sebaliknya, ketergantungan ekonomi kita pada utang dan juga
impor produk pangan. Pada awal 2013 telah menderita kondisi ekonomi double defisit dalam
neraca pembayaran dan neraca perdagangan. Ini bukti bahwa fundamental ekonomi
masih rapuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar